"Besok pagi, di tempat ini, akan kuberitahukan engkau sesuatu". Katamu.
Kulihat senyum terukir di wajahmu. Hanya sebentar, karena entah mengapa engkau langsung berlari, pulang. Tanpa memberi sedikitpun kesempatan padaku tuk mengucap kata-kata. Berlatar semburat jingga yang hangat hari ini, kulihat punggungmu perlahan menjauh, meninggalkan aku di sini, berdiri, menyisakan rindu..
Ah, selalu begitu.
Kau tahu, sikapmu sore tadi membuatku tak bisa memejamkan mata malam ini. Membuat malam, merasa tak mampu lagi, membuaiku dengan hembusan lembut angin serta bius bisikan jangkrik miliknya. Riuh detak jam yang bergantung di dinding mengalihkan lamunanku. Ah, tinggal beberapa jam lagi esok sudah menghampiri. Tapi, mata ini masih enggan tuk terpejam. Ingin rasanya mengalah pada lelap, tapi..
****
Ku berlari sekencang-kencangnya. Menerobos ilalang yang mencoba menghadang. Entah, mengapa perasaan ini begitu membuncah. Membuatku berdebar hebat, saat senyummu memergokiku berlari dengan riangnya menujumu. Satu sisi diri menggodaku, tuk kembali pulang. Menghiraukan inginku tuk bertemu denganmu. Namun kudapati diriku berhenti berlari. Bukan, bukan karena itu... Namun, karena engkau mendekatiku dengan sorot matamu yang lembut.
"Matahari masih malu-malu tuk memperlihatkan wajahnya, namun kita sudah di sini". Bisikmu, bersama sebuah senyuman.
Ya, masih ada satu jam lagi. Embun, belum sepenuhnya membasahi rerumputan di sekitar kita. Namun, kita sudah berdiri di tempat ini. Ya, kita hanya berdiri.
Tak sadar, jemarimu menyusup perlahan, menggenggam jemariku. Aku hanya diam, tak mampu berkata-kata. Lalu, engkau melangkah, sedikit tergesa. Aku pun mengikuti langkahmu. Tanpa berkata, tanpa bertanya. Di puncak bukit, akhirnya kita berhenti. Engkau menunduk, memetik sekuntum bunga. Aku tak tahu bunga apa itu. Bentuknya bulat, dengan helai-helainya yang lembut dan berwarna putih..
"Dandelion. Konon, sebuah harapan akan terkabul ketika kita meniupnya, bersamaan dengan mengutarakan keinginan kita." Bisikmu.
Engkau memberiku dandelion itu. Sambil menatap langit yang perlahan mulai menenggelamkan semburat kuning keemasan mentari, engkau berkata, "Helaian bulu-bulu putihnya akan terbang bersama desir lembut angin. Mengabarkan pinta kita pada semesta. Dan semesta pun akan ikut berdoa untuk itu".
"Apapun?"
"Apapun." Engkau meyakinkanku.
Kupegang tangkai dandelion itu dengan kedua tanganku, mulai menyebut dalam hati harapanku. Kutiup dandelion itu, membiarkan helai-helai putihnya terbang bersama angin. Berharap ia mampu mengabarkan harapanku pada langit. Engkau tersenyum. Lalu, kembali engkau memetik bunga itu. Ikut memegang tangkainya dengan kedua tanganmu, dan meniupnya. Membiarkan helai-helai putihnya berhamburan, menari dengan lembut sembari menunggang pada angin.
"Apa yang engkau harapkan?" Aku begitu penasaran.
Engkau menatapku, terdiam. Perlahan, engkau menyusupkan lagi jari-jemarimu ke tanganku.
"Aku, selalu ingin menggenggam jemarimu. Sampai kapanpun" Katamu.
Percayalah. Sejauh apapun engkau berlari, aku masih akan tetap bisa mengimbangimu. Aku akan menjagamu. Tetap berada di sampingmu dengan segenap rasa cinta dan kasih yang kupunya. Dan aku akan selalu mendukungmu, semampu yang aku bisa.
Kemari dan masuklah. Pintu ini tak lagi terkunci. Sudah kubuang kunci itu jauh ke seberang sana, membiarkan lembut rerumputan menyembunyikannya. Aku tak pernah tahu bagaimana mereka mampu melakukannya, namun aku tak peduli. Aku, tak berniat tuk mengambilnya lagi..
Entah, sudah berapa lama ku mencoba membersihkan rumah ini. Setiap inci kaca-kaca jendela, tak pernah luput dari ayunan lembut kain pembersihku. Meja, kursi, telah kuatur semuanya di tempat yang menurutku pantas, untuk menyambut kedatanganmu. Kucoba semampuku, agar ketika engkau menjelajahi rumah ini dengan lembut jemarimu, takkan ada sebutir debu pun yang engkau temukan. Jelajahi saja. Bahkan, engkau kan dengan jelas menemukan bayanganmu di sana..
Kini,
Kemarilah. Biar kuantar engkau menjelajahi tiap sudut rumah ini.
Di sini, di ruangan ini, adalah ruangku ketika menikmati petang. Duduk di atas kursi jati berpelitur, menghadap ke luar jendela. Terhampar di sana pemandangan yang kan meniupkan kesejukan, menggenapi hari-harimu. Saat mentari menunduk perlahan dengan gelisah, kan engkau dapati rona jingga yang tumpah ruah di atas hijaunya rerumputan teras belakang. Dan setelah mentari menghilang, akan engkau temukan pendar rindu dari bulan sabit di balik reranting pohon. Bahkan, ketika malam semakin pekat, akan ada banyak bintang yang jatuh di pangkuanmu..
Hei, jangan dulu.
Jangan dulu engkau terpukau. Masih ada yang ingin kuperlihatkan padamu.
Ku tahu engkau menyukai hujan. Sama sepertimu, aku pun demikian. Hujan, begitu lekat dengan kenangan. Setiap orang memiliki kenangannya sendiri bukan? Dan hari ini, kan menjadi kenangan tuk kita, ketika esok menyapa.. Oh ya, coba engkau lihat jendela di sana. Ya, di sudut ruangan ini. Sengaja tak kubingkai jendela itu dengan kaca. Hanya dengan jalinan-jalinan bambu sederhana. Agar aroma kehidupan yang khas selepas hujan, mampu berdesakan masuk. Lalu, kita akan sibuk memungutinya, memasukkannya dalam kantung-kantung yang bergelantungan di balik pintu itu. Dan saat kantung itu penuh, mari biarkan hati kita dipenuhi kesejukannya..
Hei, kemarilah.
Masih ada satu ruangan lagi.
Pernah ku berikrar, tak akan kubiarkan seorang pun memasukinya. Aku ingin menguncinya rapat-rapat. Ini, adalah ruangan dimana remah-remah cerita berserakan tak tertata. Cerita-cerita yang dulu meninggalkan luka cukup dalam. Ini adalah ruangan, dimana akan engkau dapati potongan-potongan cerita di setiap dindingnya. Di setiap lantainya..
Esok, jika saatnya telah tiba, engkau akan juga memiliki ruangan ini. Engkau, kan mengemasi remah-remah yang bertebaran, membersihkannya, mengecat ulang dindingnya, mengubah bentuk jendela, mengganti gordennya. Esok, jika saatnya telah tiba, datanglah kemari. Kupinta engkau tuk mengambil kembali kunci yang telah kubuang jauh di rerumputan di balik pagar di sana. Masuklah kemari, lalu kunci dengan rapat pintunya dari dalam.
Karena saat itulah, aku kan merancang surga.
Tentu saja, bersamamu.
[arya poetra]
Mungkin, cinta wanita itu layaknya ujung kuku.
Terus bertumbuh dengan setianya.
Tetap subur, meski kita memotongnya.
Ia akan hadir dengan segenap ketulusan.
Siap mendengarkan keluhan.
Dan hatinya, akan selalu hadir manakala ingin bersandar..
[arya poetra]
tribute to you, all mom in the world
di bawah pelangi cinta, selalu kutemukan engkau di sana.
Kawan, lihatlah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Akan engkau dapati, bahwa kata CINTA adalah sebuah kata kerja. Bukan kata sifat, yang memungkinkan tuk sering kita ungkapkan. Atau kata benda, yang bisa dipindah-tangankan. Cinta, adalah perbuatan, yang tentunya didasari kebaikan. Memberi tanpa pamrih.
Seperti mereka, yang 67 tahun lalu memberi cintanya kepada rumah, yang bersama-sama kita menebutnya, INDONESIA. Mereka telah membuktikan pada kita, bahwa cinta adalah perbuatan menjaga. Menjaga, agar Indonesia kita ini tak "terkotori" kebengisan penjajah..
67 tahun lalu, dan hari ini, mari terus berkata pada hati, bahwa cinta adalah sebuah perbuatan. Menyematkan semangat mereka dalam dada tiap dari kita, dan membiarkannya bertumbuh. Memupuk dengan doa, menyirami dengan semangat dan ketulisan jiwa. Mari bertumbuh, mengembangkan "titipan" Tuhan dalam diri kita. Agar bisa melanjutkan perjuangan itu.
SELAMAT HARI PAHLAWAN.
SELAMAT HARI PAHLAWAN.
[arya poetra]
Sudah menjadi cerita umum bahwa dirimu adalah binatang favorit Rasulullah. Entah sejak kapan aku mulai menyukai spesies kalian. SD? Atau mungkin, saat saya balita? Mungkin saja. Yang jelas, engkau begitu mendapat tempat yang spesial di memoriku kawan. Masih kuingat kali pertama kita bertemu dulu. Waktu itu, aku masih berseragam putih abu-abu. Di suatu sore, dalam lamunanku memandang langit, tiba-tiba engkau muncul di hadapanku. Engkau, dengan bulu abu-abu dan garis-garis hitammu mengelus lembut dan manja di kakiku. Entah darimana engkau datang waktu itu. Sejak saat itu, kita bagai sahabat yang terus menghabiskan waktu bersama. Saat mengerjakan tugas-tugas sekolah di rumah, saat bermain di lapangan basket, bahkan hingga saat makan di meja makan.
Kau tahu, ada tiga hal yang begitu spesial di dirimu kawan. Saat makan, tak pernah sekalipun engkau mencoba merebut apa yang aku makan. Naik ke atas meja seperti kebanyakan teman-temanmu yang lain, sekali pun tak pernah engkau lakukan. Engkau hanya duduk dengan sabar di sampingku. Bahkan, ketika setelah selesai makan, dan membawa piring ke dapur, tak sedikitpun engkau bergeser dari tempatmu duduk. Engkau baru bergerak ketika kusodori engkau jatah makanmu. Selalu seperti itu.
Ketika kupanggil, engkau selalu berlari riang kepadaku. Tak peduli di manapun engkau, ketika mendengar panggilanku. Engkau berlari, memanjat hingga engkau bisa mencapai pundakku. Aku pun heran, padahal tidak pernah aku melatihmu untuk bertingkah seperti itu.
Dan satu hal yang sangat mengingatkanku padamu, adalah suara adzan. Ketika adzan berkumandang dengan riangnya, kudapati dirimu selalu duduk diam. Tak bertingkah. Bahkan pernah kugoda engkau dengan sepotong ikan, namun engkau hanya menoleh tanpa mengeluarkan suara. Baru setelah adzan berkumandag, dirimu dengan riang menghampiriku. Mengajak bermain. Selalu seperti itu.
Ah, adzan magrib berkumandang..
Kidung hati ini, kembali mengingatkanku padamu. Pada memori kita..
[arya poetra]
untukmu yang tak lagi bersamaku selama 8 tahun ini.
loving you, always.