Kenangan.
Dengan caranya sendiri, mengambil peran dalam perjalanan kehidupan manusia. Ada yang menyakitkan. Ada yang menyenangkan. Kenangan pula lah yang membuat manusia memilih untuk bertahan, ataukah akhirnya menyerah dan melepaskan. Kenangan lah yang membuat manusia kembali memperoleh semangat untuk kembali melanjutkan hidup, dengan berbuat sesuatu yang lebih baik.
Kenangan.
Juga pada akhirnya mengambil peran untuk menjerumuskan manusia dalam kesesatan. Menumbuh suburkan ketamakan, kedengkian, dan keraguan di dalam hati. Mungkin memang seperti itu. Ia kan selalu menghampiri anak-anak Adam. Berwujud pedang bermata dua.
Bukankah di alam keabadian kelak, kenangan pula lah yang akan diperlihatkan kepada seluruh manusia? Sedari kecil, hingga ia menghabiskan jatah waktu yang dianugerahkan kepadanya? Bukankah kenangan kan menjadi penentu keridhaan ataukah kemurkaanNya?
Lembaran-lembaran kosong masih tersisa. Kata-kata tetap menjadi sesuatu yang menjadi pilihan. Cerita-cerita, tetap memiliki kesempatannya untuk menjadi lebih baik.
Lalu, kenangan seperti apa yang ingin engkau torehkan?
Katamu cinta.
Pada jemari yang terangkat atas nama Pemilik Semesta. Kata-kata tak sabar untuk menanti perbincangan. Menyampaikan segala rasa, melesatkan mimpi-mimpi. Maka biarlah lantunan adzan menjadi sebaik-baik penanda yang memperlihatkan kualitas cinta yang engkau ucapkan.
Katamu cinta,
Pada langkah-langkah yang berjalan atas nama Yang Maha Pemurah. Yang berusaha menuntaskan segala kewajiban dan tanggung jawab. Yang memilih dibanjiri peluh keringat daripada tenggelam dalam keluh kesah. Maka biarlah sunnah-sunnah kekasihNya menjadi sebaik-baik penanda yang memperlihatkan kualitas cinta dalam tiap langkahmu.
Katamu cinta.
Pada jarak yang tak lagi menjadi alasan untuk mencipta pertemuan. Pada malam, yang bagimu adalah waktu terbaik untuk merapalkan dan memupuk rindu pada Yang Maha Mendengarkan. Maka biarlah sepertiga malam menjadi sebaik-baik penanda yang memperlihatkan seberapa besar cinta yang terselipkan dalam rindu-rindu mu.
Katamu cinta.
Pada tangan-tangan yang memberi atas nama Yang Maha Memelihara. Maka biarlah isak tangis karena rasa lapar, tangan-tangan yang meminta, dan tua-tua renta menjadi sebaik-baik penanda yang memperlihatkan benderang cahaya kasih sayang yang ada di hatimu.
Katamu cinta.
Yang terus bertumbuh dalam ingatan. Memuja Yang Maha Agung dalam setiap perjalanan waktu. Dalam lapang maupun sempitmu. Maka biarlah waktu kosong menjadi sebaik-baik penanda yang memperlihatkan adakah Al Qur'an menjadi teman sejatimu. Adakah lisanmu tetap terjaga melantunkan cinta dari ayat-ayat di sana?
Lisanmu terus berujar tentang cinta.
Yang melebur bersama kata-kata.
Namun, bukankah cinta juga adalah kata kerja. Lupakah engkau?
Jika hatiku adalah sebuah rumah,
Akan kubangun ia menghadap arah utara. Agar angin kan dengan leluasa masuk, menyejukkan kita yang sedang gerah dengan penatnya perjalanan. Agar senja tak menjadi alasan untuk tak lagi memetik bintang-bintang. Dan tahukah engkau arah utara itu? Itulah surgaNya. Bersama, kita kan menuju ke sana,bukan?
Jika hatiku adalah sebuah rumah,
Akan ada sebuah ruangan yang penuh dengan kaleng-kaleng warna. Engkau kan bebas memilih warna untuk setiap ruangan di sana. Mungkin kan engkau warnai dengan warna hujan, ataukah dengan warna mentari pagi. Semoga, pengalaman-pengalaman selama perjalanan membekas menjadi warna-warni kebaikan bagi kita dan orang-orang di sekitar kita. Agar cerita-cerita dalam buku menjadi cahaya, di rumah keabadian kelak.
Jika hatiku adalah sebuah rumah,
Akan ada ruangan yang penuh dengan kisah masing-masing kita. Duduklah di sini bersamaku. Kata-kata kan membuatmu tersenyum. Diam kan memelukmu hangat, bukan melukaimu. Duduklah di sini bersamaku. Bersama, menerjemahkan perasaan yang sebelumnya tak mampu kita eja.
Jika hatiku adalah sebuah rumah,
Engkau kan menjadi langitnya.
Jika hatiku adalah sebuah rumah,
Maukah engkau tinggal di sana?
Inspired by
Owl City - If My Heart Was a House
Tahukah engkau hal apa yang paling membahagiakan untuk orangtua?
Itulah sujud-sujud yang tetap terjaga atas niat beribadah. Menemui pencipta alam di lima waktu yang telah menjadi syarat atas hadir kita di dunia. Mengadukan segala rasa dan pemikiran karena yakin dengan segala yang dijanjikanNya.
Itulah doa-doa yang tak lelah membersamai setiap usaha. Doa-doa yang tak pernah menyalahkan episode hidup yang diberikanNya. Yang tetap tumbuh dalam keseharian. Yang tetap menyala di keheningan malam. Pun doa-doa yang selalu terapal untuk meminta pengampunan atas khilaf yang pernah mereka lakukan.
Itulah tangan-tangan yang tetap terjaga untuk memberikan manfaat dari apa-apa yang dititipkanNya. Tanpa ragu. Tanpa merasa rugi. Bukankah kata kekasihNya, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk sesamanya?
Karena suatu hari orangtua kan menanti di sebuah stasiun. Yang kan membawanya memenuhi undangan Tuhan. Mempertanggungjawabkan tentang kamu yang ditipkanNya pada mereka. Tegakah engkau untuk tak peduli bagaimana mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan di sana? Tak inginkah engkau mengambil peran atas surga yang Insya Allah dihadiahkan untuk mereka?
Bahkan pemimpin tertinggi dari suatu negeri pun memiliki rajanya. Ya, orangtua adalah raja tertinggi di dunia ini. Bahagiakanlah. Muliakanlah. Jadilah lebih baik, untuk mereka. Karena bahagia mereka adalah tujuan kita, bukan?
Bukankah memang seperti itu? Tuhan dan SemestaNya bekerja dengan caranya sendiri untuk menghiburmu? Dari mendung yang menaungimu. Dari gelap yang mencoba merusak warna hari yang sedang engkau lukis. Dari mimpi yang belum diizinkanNya untuk terwujud?
Jangan katakan mereka tak peduli. Jangan kira mereka tidak memperhatikan. Mereka hanya bekerja dengan cara yang terkadang sulit dimengerti olehmu. Ada banyak cara mereka berbicara, mencoba menyampaikan petunjuk-petunjuk untuk mendekatkanmu dengan jawaban yang engkau harapkan.
Bukankah seperti itu, bahwa alam semesta bekerja menurut apa-apa yang engkau sangkakan? Usaha-usaha yang engkau lakukan untuk menyelaraskan diri dengan percepatannya akan menarik keberuntungan-keberuntungan mendekat padamu. Jarak yang terbentang dengan tujuan pun perlahan memendek.
Tak selalu terwujud memang. Karena alam semesta adalah dunia kuantum yang juga diisi dengan partikel-partikel ketidakpastian. Namun, satu kepastian yang dapat engkau andalkan adalah kemauan dan kemampuanmu untuk menyelaraskan diri. Mungkin suatu hari engkau kan berperan menjadi air, bergerak dalam ketenangan, memberikan kesegaran untuk yang membutuhkan. Atau menjadi langit, yang menaungi dari sengatan panas. Ya, ini tentang menyelaraskan dirimu.
Teruntuk engkau yang sedang berusaha menggapai mimpi, selaraskanlah pikiran dan emosimu. Mulailah dengan tidak menyalahkan diri sendiri kala kesukaran menghampirimu. Percayalah, keberuntungan datang bagi mereka yang meyelaraskan diri.
Jangan katakan mereka tak peduli. Jangan kira mereka tidak memperhatikan. Mereka hanya bekerja dengan cara yang terkadang sulit dimengerti olehmu. Ada banyak cara mereka berbicara, mencoba menyampaikan petunjuk-petunjuk untuk mendekatkanmu dengan jawaban yang engkau harapkan.
Bukankah seperti itu, bahwa alam semesta bekerja menurut apa-apa yang engkau sangkakan? Usaha-usaha yang engkau lakukan untuk menyelaraskan diri dengan percepatannya akan menarik keberuntungan-keberuntungan mendekat padamu. Jarak yang terbentang dengan tujuan pun perlahan memendek.
Tak selalu terwujud memang. Karena alam semesta adalah dunia kuantum yang juga diisi dengan partikel-partikel ketidakpastian. Namun, satu kepastian yang dapat engkau andalkan adalah kemauan dan kemampuanmu untuk menyelaraskan diri. Mungkin suatu hari engkau kan berperan menjadi air, bergerak dalam ketenangan, memberikan kesegaran untuk yang membutuhkan. Atau menjadi langit, yang menaungi dari sengatan panas. Ya, ini tentang menyelaraskan dirimu.
Teruntuk engkau yang sedang berusaha menggapai mimpi, selaraskanlah pikiran dan emosimu. Mulailah dengan tidak menyalahkan diri sendiri kala kesukaran menghampirimu. Percayalah, keberuntungan datang bagi mereka yang meyelaraskan diri.
Lihatlah Umar bin Khattab, yang terus berjalan di malam hari, sekadar untuk mencari tahu apakah ada umat yang dipimpinnya telah mendapatkan cukup bahan makanan untuk mereka konsumsi.
Lihatlah Abu Bakar Ash Shiddiq, yang terus berjalan seusai shalat wajibnya. Mengunjungi seorang ibu renta yang tinggal di gubuknya yang sederhana. Dengan setia menyuapi dan mengurusi keperluannya tanpa kenal lelah dan kata untuk berhenti.
Lihatlah Ali bin Abi Thalib, yang terus mengikuti Rasulullah. Mempelajari setiap yang ada di dalam diri beliau. Terus mengunjungi pasar-pasar untuk mengingatkan saudara-saudaranya untuk tetap adil dalam takaran dan timbangan.
Lihatlah Utsman bin Affan, yang terus mengalirkan kekayaan yang dititipkan padanya untuk kepentingan ummat. Yang setia memberikan kekenyangan pada mereka-mereka yang lapar. Yang terus memberikan pakaian pada mereka-mereka yang membutuhkan.
Lihatlah Ishak bin Ibrahim al-Muradi, yang terus menghidupkan lentera rumahnya kala malam semakin gelap. Terjaga di keheningan malam demi pencariannya akan ilmu.
Ya.
Karena Islam adalah agama yang bergerak. Yang padanya manusia dianjurkan untuk terus bergerak, terus berupaya, terus membaca semesta. Padamu, padaku, semoga terus terpacu untuk memberikan sesuatu untuk agama ini. Karena sesungguhnya, bekerja dalam menyampaikan kebaikan itu berarti kita sedang bekerja untuk diri kita sendiri.
Berjuang. Berjuang. Berjuang. Teruslah bergerak.
Jika kaki ini telah menginjak surgaNya, maka di sanalah aku, kamu, bisa beristirahat. Amin.
Mari terus menjadi lebih baik.
Arya
Senja menyapa hangat langit Jakarta. Tersenyum, pada jalan-jalan ibukota yang sudah sesak dengan manusia-manusia yang ingin kembali ke peraduannya. Seharian beraktivitas mungkin membuat mereka gerah, maka roda-roda pun dipacu, secepat yang mereka bisa untuk berlomba dengan waktu. Untuk segera bisa merasakan nikmatnya pulang. Untuk segera memenuhi janji. Ataupun untuk menjemput kesempatan-kesempatan yang mungkin pikir mereka takkan berulang.
Roda-roda itu pun meliuk-liuk, mencari setiap celah yang mampu diisi. Terompet pun riuh bersahut-sahutan, entah saling memanggil ataukah saling menghardik. Dan seperti biasa, saya pun menjadi bagian dari keramaian jalanan ibukota di sore hari.
Ada satu detail kecil yang menarik.
Berdiri di persimpangan jalan yang tak memiliki lampu lalu lintas, seorang pria paruh baya dengan peluitnya. Mencoba mengatur lalu lintas kendaraan yang melewatinya. Pun sesekali pernah ada anak muda yang menggantikannya. Kendaraan-kendaraan coba diaturnya, agar masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk berbagi ruang. Ya, persimpangan di kala sore adalah salah satu tempat yang penuh dengan kesibukannya sendiri.
Pernah beberapa kali mereka tidak hadir. Mungkin karena kesibukan lain yang harus mereka dahulukan. Pak Polisi pun hadir menggantikan.
Namun, yang menghadirkan tanya, mengapa pada saat Pak Polisi yang menggantikan posisi mereka untuk mengatur, banyak orang yang sepertinya patuh. Seperti ada jari-jari yang menjentikkan bunyi "klik" dan begitu saja mereka terhipnotis. Masuk ke dalam alam kepatuhan. Kendaraan begitu tertata rapi, dan mereka sabar menunggu tanda dari ayunan tangan pria berseragam untuk melanjutkan laju.
Begitu berbeda ketika pria paruh baya ataupun anak-anak muda tadi yang mengatur. Roda-roda itu dengan tak sabarnya mencoba mengambil giliran. Bahkan, perilaku mereka menyebabkan persimpangan menjadi begitu sulit untuk dilalui. Tak jarang, mereka dihadiahi hardikan. Tak becus mengatur katanya, dan berbagai macam alasan lainnya.
Apakah kebenaran, hanya bisa dihargai ketika seseorang berseragam? Ataukah hanya diperlukan sebuah seragam untuk menghipnotis pengguna jalan berada dalam kepatuhan?
Kebenaran, datangnya bisa dari mana saja. Tak peduli latar belakang, agama, status sosial. Bahkan dari pria paruh baya yang tak berseragam. Beliau hanya mencoba membantu agar semua mendapatkan kesempatan yang sama. Jika ditawarkan kepada kita, untuk mengatur lalu lintas, dibawah sengatan matahari dan terpaan debu seperti itu, belum tentu kita bersedia melakukannya. Seharusnya, kita patut bersyukur pada Allah karena di tengah kekacauan lalu lintas persimpangan, ditempatkanNya pria paruh baya itu untuk membantu kita. Dan menghargai beliau adalah salah satu cara kita bersyukur padaNya. Bukankah begitu? Mari melihatnya dari perspektif akhirat.
Jalanan, memang bisa menjadi miniatur yang memperlihatkan jenis dan kualitas karakter banyak manusia. Ada yang sabar, ada yang tidak. Ada yang berpikir panjang, ada yang cuma menurut hawa nafsu. Ada yang santun, dan ada yang kasar.
Aku, kamu, memilih untuk menjadi bagaimana?
Ada satu detail kecil yang menarik.
Berdiri di persimpangan jalan yang tak memiliki lampu lalu lintas, seorang pria paruh baya dengan peluitnya. Mencoba mengatur lalu lintas kendaraan yang melewatinya. Pun sesekali pernah ada anak muda yang menggantikannya. Kendaraan-kendaraan coba diaturnya, agar masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk berbagi ruang. Ya, persimpangan di kala sore adalah salah satu tempat yang penuh dengan kesibukannya sendiri.
Pernah beberapa kali mereka tidak hadir. Mungkin karena kesibukan lain yang harus mereka dahulukan. Pak Polisi pun hadir menggantikan.
Namun, yang menghadirkan tanya, mengapa pada saat Pak Polisi yang menggantikan posisi mereka untuk mengatur, banyak orang yang sepertinya patuh. Seperti ada jari-jari yang menjentikkan bunyi "klik" dan begitu saja mereka terhipnotis. Masuk ke dalam alam kepatuhan. Kendaraan begitu tertata rapi, dan mereka sabar menunggu tanda dari ayunan tangan pria berseragam untuk melanjutkan laju.
Begitu berbeda ketika pria paruh baya ataupun anak-anak muda tadi yang mengatur. Roda-roda itu dengan tak sabarnya mencoba mengambil giliran. Bahkan, perilaku mereka menyebabkan persimpangan menjadi begitu sulit untuk dilalui. Tak jarang, mereka dihadiahi hardikan. Tak becus mengatur katanya, dan berbagai macam alasan lainnya.
Apakah kebenaran, hanya bisa dihargai ketika seseorang berseragam? Ataukah hanya diperlukan sebuah seragam untuk menghipnotis pengguna jalan berada dalam kepatuhan?
Kebenaran, datangnya bisa dari mana saja. Tak peduli latar belakang, agama, status sosial. Bahkan dari pria paruh baya yang tak berseragam. Beliau hanya mencoba membantu agar semua mendapatkan kesempatan yang sama. Jika ditawarkan kepada kita, untuk mengatur lalu lintas, dibawah sengatan matahari dan terpaan debu seperti itu, belum tentu kita bersedia melakukannya. Seharusnya, kita patut bersyukur pada Allah karena di tengah kekacauan lalu lintas persimpangan, ditempatkanNya pria paruh baya itu untuk membantu kita. Dan menghargai beliau adalah salah satu cara kita bersyukur padaNya. Bukankah begitu? Mari melihatnya dari perspektif akhirat.
Jalanan, memang bisa menjadi miniatur yang memperlihatkan jenis dan kualitas karakter banyak manusia. Ada yang sabar, ada yang tidak. Ada yang berpikir panjang, ada yang cuma menurut hawa nafsu. Ada yang santun, dan ada yang kasar.
Aku, kamu, memilih untuk menjadi bagaimana?
Mari terus menjadi baik.
Arya
Suatu hari, kecemasan dan rasa gundah yang menyelimutimu akan menjadi sesuatu yang engkau tertawakan.
Suatu hari, kemantapan dan peluang kan datang setelah engkau memantaskan diri.
Suatu hari, engkau kan menjadi istimewa. Karena telah berjalan dengan istiqomah.
Untuk kebaikan-kebaikan yang sedang engkau perjuangkan,
Bersabarlah. Bertahanlah sejenak.
Mari mengukir Agustus dengan sebaik-baik kerja keras. Dengan segala kerendahan hati. Dengan seikhlas-ikhlasnya senyuman. Cerita yang kita ukir memang tak selalu sama. Engkau mengeja 5, sedang Aku mengeja 11. Namun bukankah pertemuan adalah pasti bagi cerita-cerita yang berjalan menuju tujuan yang sama?
Lelah adalah wajar. Namun jangan lupa sisihkan waktu. Duduk sejenak, menghapus peluh dan membesarkan hati mereka-mereka yang telah membersamai kita untuk bertumbuh. Jangan terlampau lelah dengan kehidupan, hingga tak engkau sisihkan sedikit ruang untuk kepedulian terhadap sesama. Bukankah mengukir senyuman di wajah orang lain menjadi penanda bahwa kita benar-benar ada dalam lipatan waktu?
Janganlah terlampau lelah dengan kehidupan, hingga tak engkau selipkan kesabaran dalam tahap pembelajaran yang sedang engkau jalani. Bukankah setiap harinya adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik? Bukankah setiap harinya adalah peluang bagi kita tuk mengukir cerita yang tak selalu sama?
Teruntuk Perempuan yang sedang mengeja 5, selamat memaknai perjalananmu. Semoga cerita yg sedang engkau tuliskan dalam buku kehidupanmu adalah cerita hebat yang mampu menginspirasi dalam kebaikan.
Teruntuk Dyah Ayu Utaminingrum
Salam, kakakmu.
Bukankah waktu berbicara padamu, tiap harinya, dan tidak hanya sekali dalam setahun? Terkadang berbisik lembut, dan terkadang berteriak lantang. Pun sesekali bertanya untuk menguji. Mungkin agar engkau mengimbuhkan keyakinan dan kesungguhan pada pilihan dan harapan yang engkau titipkan.
Bukankah menjadi dewasa adalah pilihan yang kan menghampirimu setiap harinya? Yang lahir dari cerita-cerita yang membuatmu jatuh pada kebaikan-kebaikan. Yang tumbuh bersama senyuman-senyuman, yang menjadi penanda bahwa dirimu masih bisa memberikan manfaat. Yang senantiasa membisikkan nama-nama yang ingin engkau jaga dan perjuangkan kebahagiaannya di antara jemari yang dengan setia menengadah pada Yang Maha Mulia.
Ya, menjadi dewasa adalah tentang kemauanmu mengambil dan mengemban tanggung jawab untuk menjaga kebaikan-kebaikan tetap merekah.
Hari ini, bukanlah hari khusus yang menjadikanmu harus menunggunya. Dengan doa-doa yang engkau harapkan terlantun bersama lilin-lilin yang meleleh karena panas. Bukan pula tentang balon penuh warna yang menghiasi dinding-dinding. Namun hari ini adalah hari untuk engkau mengingat adanya sebuah kelahiran dari ketiadaan. Tentang siapa dirimu dan orang-orang yang tak lelah membersamaimu, dalam suka dan duka, ataupun jatuh dan bangunmu.
Hari ini, hanyalah bagian dari cerita dalam buku kehidupan. Sebuah titik perihelion yang melintasi hatimu. Yang kembali mengajakmu dalam orbit ketaatan. Menundukkan hati atas nama pemilik semesta.
Kepada engkau, jiwa yang sedang mengeja 11. Mari memaknai hari ini. Esok, kala lelah menghampirimu, mintalah bait-bait puisi dari langit. Bacalah dengan segenap kerendahan hati. Bersenandunglah dalam hening. Semoga senyuman terus merekah hingga engkau akhirnya berpulang pada rumah kebahagiaan yang abadi.
Mari terus menjadi baik.
Arya
Selembar rasa untukmu.
Ada begitu banyak pertemuan dalam kehidupan ini. Persimpangan-persimpangan yang mengiringinya pun menyimpan berbagai macam kemungkinan. Namun, tak ada yang kebetulan pada sebuah pertemuan. Padanya, selalu tersimpan alasan, dan saya percaya itu. Tersusun rapi tuk menyajikan pada kita tentang bahagia maupun duka. Pun padanya kita kan belajar tentang sesuatu.
Lalu, hari itu.
Engkau datang di bulan Agustus. Kita dipertemukan semesta tuk saling mengenal.
Perjalanan-perjalanan pun membuatku jatuh. Cinta memang tak pernah sederhana. Tak pernah kita tahu kapan si Nyonya Merah Muda datang mendekap ketika hitam dan putih adalah warna yang kita kira telah sempurna. Waktu pun menempa perjalanan rasa. Membubuhkan satu kata sebagai pemanis. Lalu ada rindu yang diam-diam menyusup dalam cangkir-cangkir teh. Ada sedikit pahit memang. Sesaplah. Agar kita tahu bahwa hidup tak selamanya tentang bahagia.
Mengingatmu, adalah sesuatu yang hanya mampu membuatku tersenyum. Melempar tanya kepada diri sendiri, mengapa engkau bisa hadir dalam ceritaku. Mengeja kita selalu membuat penaku mengering, menambah tumpukan kisah-kisah untuk dikenang. Mengeja kita selalu membuatku kewalahan mencari kotak tuk menyimpan memo-memo kecil tentangmu.
Haaahh...
Saya sedikit mengela nafas. Saya dan kamu sedang belajar. Belajar memaknai hidup ini. Kita hanyalah anak-anak manusia yang sedang menyetor cerita dalam sebuah buku kehidupan. Yang kan dibacaNya. Semoga IA tertarik. Semoga IA suka.
Aku, kamu, dan mereka kan menjadi pelengkap cerita. Karena hidup adalah sebuah cerita. Dan teruntuk kamu, Perempuan yang datang di Bulan Agustus, terimakasih telah menjadi bagian dari ceritaku.
Mari terus mendekap langit.
Agar pertemuan menjadi bagian dari sebuah cerita.
Mari, tuntaskan jarak. Agar dingin tak lagi menghalangi tuk bisa bernafas dengan lega. Bukankah cinta seharusnya seperti itu?