Menulis adalah proses menyembuhkan. Ia bekerja dengan sangat rapi melegakan perasaan. Membuat jiwa mencari solusi dengan sendirinya. Mengiringi kesungguhan niat... dengan menuliskan doa dan harapan. Dan tiap tulisan punya alamatnya masing-masing. Apakah alamat kebermanfaatan, ataukah kesia-siaan, pilihan ada kepadamu wahai penulis.
Adalah sesuatu yang menyenangkan bila karya kita bermanfaat untuk orang lain. Bila karya kita menjadi bagian dari perjalanan seseorang untuk kembali menjadi lebih baik. Namun, bayangkan bagaimana rasanya, bila karya yang engkau hasilkan, yg lahir dari rahim kata sebagai hasil perenunganmu itu, oleh orang lain diakui sebagai karyanya. Bukan... Bukan saya menyoal tentang karya ini adalah sesuatu yg istimewa, sehingga menjadikannya hanya milik saya seorang. Bukan.. Bukan pula menyoal rasa sombong karena pikirmu ini hanyalah rangkaian-rangkaian kata semata.
Tapi pikirkanlah hal ini. Karena kebohongan seseorang yang mengakui hasil karya orang lain, akan berlanjut pada orang-orang lain yang ikut menyebarkannya. Dan akan berlanjut lagi jika yang menyebarkan itu ikut berbohong, mengakui bahwa itu adalah karyanya. Jadinya, kebohongan kecil akan menjadi skala besar. Bagaimana bisa keberkahan Pemilik Semesta turun dan menghiasi keseharian kita? Bukankah kita akan menjadi lebih besar , lebih baik dengan menghargai hasil karya orang lain?
Kantor
Postingan asli saya, dengan judul Akan Tiba Saatnya
Ketika engkau sudah berada dijalan yang benar menuju Allah, maka berlarilah. Jika sulit bagimu, maka berlari kecil lah. Jika kamu lelah, berjalanlah. Jika itupun tidak mampu, merangkaklah. Namun, jangan pernah berbalik arah atau berhenti.- Imam Syafi'i
----------------------------------------------
Ya Allah, Engkaulah pemilik hati. Karenanya, kuserahkan ia padaMu. Berilah ia cahayaMu, agar tak ada lagi ruang yang gelap di sana.
source: pexels.com |
Mentari kembali meninggi. Ibukota kembali riuh. Oleh lalu-lalang mereka yang katanya berusaha mengalahkan waktu. Mengapa mencoba menang? Karena pikirmu, takutmu, ia kan memisahkan? Dari apa-apa yang engkau tuju? Dari apa-apa yang engkau usahakan atasnya?
Tidak. Ia tidak memisahkan. Sejatinya ia mempertemukan. Pada sesuatu yang lebih baik. Pada sesuatu yang lebih pantas. Pada sesuatu yang telah dipersiapkanNya untukmu. Tersenyumlah. Jalani dengan sabar. Melangkahlah dengan sewajarnya.
Jakarta
Memang jalan yang kan ditempuh tuk menggapainya takkan selalu lurus. Namun, aku, kamu, percaya bahwa #hijrah itu meluruskan bukan? Dan kepada aku, kamu, di masa lalu, biarkan ia luruh. Layaknya bongkah es yang tak menentang matahari. Sebab, ia patuh. Biarkan ia hanyut, layaknya debu yang diguyur hujan. Mengantar pada suatu waktu yang dirindukan. Biarkan ia kembali, bahagia layaknya camar yang pulang kala senja memanggil.
Rabb, kami masih di sini. Meneduhkan setia kepadaMu
Ada satu buku yang isinya benar-benar menarik perhatian saya saat ini. Buku ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2007, dan (rasanya) saya sudah pernah memilikinya. Hanya saja saya lupa, apakah pernah meminjamkannya kemudian tidak kembali, ataukah ia pernah tercecer entah dimana. Saya yakin teman-teman pasti tahu buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu. Ya, saya sedang membicarakan buku hebat ini.
Sudah seminggu ini saya asyik menyelami isinya, sembari mempraktekkan apa yang tertulis di sana. Ada banyak hal baru yang saya pahami. Ada banyak anggukan ketika melewati rentetan kalimat-kalimatnya. Ada banyak paragraf serupa halte, dimana saya harus singgah sejenak tuk kembali memutar waktu. Mengevaluasi proses-proses yang telah saya lalui hingga detik ini. Tak lupa, ada banyak kejadian-kejadian yang membuat saya tersenyum dan bergumam, "Oh, begitu toh.." Dan bisa saya katakan, buku ini memiliki kualitas untuk memanggil otak saya yang senang dengan pertanyaan-pertanyaan tak biasa.
Begitu banyak buku, kata-kata motivasi, ataupun saran-saran yang menganjurkan kita untuk berpikir positif. Ketakutan atau pikiran negatif sebaiknya dikontrol, dikendalikan, dan dilawan dengan berbagai trik sikap mental yang justru berpotensi menimbulkan konflik batin. Mengapa? Karena kita seringkali berpikir dengan mengesampingkan persoalan "dimensi hati". Kita terlampau sering menggunakan pikiran yang kekuatannya hanya 12%, dibandingkan menggunakan hati yang kekuatannya 88% (ini kata mas Erbe dalam bukunya ya.. bukan saya).
Yang saya pahami, buku ini mengajak kita untuk terlebih dahulu menata perasaan. Bahagiakan ia, karena berawal dari sana lah semua kebahagiaan yang bisa kita raih. Izinkanlah hati untuk membantu, apapun yang dihadapi. Dengan perasaan yang bahagia, penuh rasa syukur, solusi yang dibutuhkan akan tertarik dengan sendirinya. Karena di alam Quanta, semua bergetar dengan vibrasi yang saling tarik menarik.
... dan kamu berprasangka yang bukan-bukan terhadap Allah
(QS. Al Ahzab :10)
Oh ya, sudah lama sejak tulisan di blog ini membahas tentang sebuah buku. Ke depan, akan ada beberapa serial tulisan sebagai hasil pemahaman dan praktek yang diterapkan dari buku ini. Karena akan rugi rasanya jika hal-hal baik di buku ini tidak dibagi dan disebarkan. Semoga tulisan-tulisan ke depan bermanfaat untuk teman-teman. Semoga menginspirasi. Jangan lupa, jika ada yang salah, segera ditegur.
-Ry
Jakarta