sumber gambar |
Bismillah.
Bagi yang suka menulis, ada rasa bahagia tersendiri saat kata-kata akhirnya menjelma menjadi susunan-susunan kalimat. Apalagi jika cerita yang disuguhkan mendapat tanggapan positif dari banyak pihak. Pada akhirnya, akan muncul "rasa memiliki" terhadap karya tulis tersebut. Dan tentunya, ada rasa kesal manakala orang lain mengakui bahwa susunan-susunan kalimat itu adalah hasil karyanya.
Saya sendiri pernah seperti itu. Blog/Timeline mereka-mereka yang menyalin tulisan-tulisan yang ada di blog ini, saya screenshoot, lantas memberinya komentar. Komentar-komentar yang menyudutkan, dengan argumentasi-argumentasi yang mencoba meyakinkan bahwa saya ada di pihak yang "benar".
Ada sebuah tulisan yang saya dapati di tumblr beberapa minggu yang lalu. Namun sayangnya, saya lupa alamat blog dan siapa penulisnya. Jika saya dapatkan, akan saya sematkan kemudian di akhir paragraf tulisan ini. Singkat saja, di sana tertulis sebuah kisah, tentang seorang penulis yang hidup beberapa abad silam. Tulisan-tulisan nya bagus, dan orang-orang memberi apresiasi terhadap karyanya itu. Saking bagusnya, ada orang-orang yang dengan gampangnya menyalin sama persis, lantas menerbitkan buku, seakan-akan itu adalah buah pemikirannya. Namun si penulis tidaklah seperti saya, memberi argumentasi-argumentasi yang memberitahu bahwa ia lah yang "benar". Penulis itu diam saja. Karena di awal, ia sudah meniatkan untuk menulis karena Rabb nya. Allah Maha Adil. Terjadi suatu kebakaran di kota itu. Kejadian itu sampai membuat buku-buku yang ada di kota itu ikut terbakar. Kecuali satu buku, yang merupakan karya asli sang penulis tadi. Allah menjaga niat sang penulis dengan menjaga bukunya agar tidak terbakar.
Saya terhenyak. Kembali mengingat apa yang saya lakukan. Begitu mudahnya saya "mengakui" bahwa tulisan-tulisan yang ada di blog ini adalah milik saya. Padahal inspirasi, kata-kata, dan semua yang mendukung hingga akhirnya sebuah tulisan lahir, adalah karena Allah semata. Betapa angkuhnya saya, padahal sejatinya, tidak ada yang benar-benar saya miliki dalam hidup ini. Semua hanyalah "pinjaman" dari Allah, Rabb semesta alam.
Benar kata seorang kawan, bahwa sebuah tulisan yang dibuat dengan hati, akan sampai ke hati pula. Bahwa tulisan yang diiringi dengan rasa ikhlas, mengharap ridhoNya, tidak akan pernah salah alamat. Seperti tulisan di tumblr tadi. Tulisan itu dibuat jauh sebelum saya bertemu dengannya. Rasanya, semesta merekam niatan sang penulis di dalam tulisannya itu, yang ingin mengingatkan, bahwa tak usah khawatir dengan plagiasi, jika memang proses menulis yang engkau lakukan itu atas niat karena Allah semata. Dan sampailah tulisan itu kepada saya, mengingatkan untuk mengoreksi niat saat ingin menggoreskan kata-kata.
Tulisan tentang semangat berbagi, akan sampai pada mereka yang juga menyukai berbagi, ataukah mereka yang sedang berusaha untuk menumbuhkan semangat berbagi. Tulisan yang ingin mengingatkan pentingnya sedekah, akan sampai pada mereka yang sedang berbenah diri menyoal sedekah.
Bukankah menyenangkan rasanya, ketika sebuah tulisan hasil pemahaman kita akan sesuatu, menjadi perantara seseorang untuk berbenah diri menjadi lebih baik? Tidakkah itu cukup membuatmu bahagia?
Jika akhirnya karyamu menjadi "terkenal", itu hanyalah sebuah bonus. Bisa saja ia menjadi sebuah ujian, untuk menakar rasa syukurmu, untuk meneropong niatmu, ataukah memang sebagai hadiah, karena dinilai pantas untuk naik ke level selanjutnya. Saya pun sedang belajar untuk mengoreksi kembali niat menulis. Semoga tetap istiqomah.
Menulislah dengan ikhlas.
Bukan karena ingin punya fans.
arya.poetra
Jakarta, 2 Ramadhan 1438H
Bukankah sudah seperti itu, bahwa tak selamanya dedaunan akan terus menghijau. Akan ada hari dimana ia akan mulai menguning. Layu,kemudian gugur, kembali ke pangkuan bumi.
Bukankah sudah menjadi ketetapan semesta, bahwa tak selamanya dedaunan akan terus menemani reranting menyaksikan buah-buah menjadi ranum. Akan ada hari dimana ia jatuh bersama ranting yang menua, patah, lalu terbaring tak berdaya.
Saya percaya, Ramadhan datang dengan beragam cerita dan hikmah bagi mereka-mereka yang menyambutnya. Ada cerita bahagia, dari manusia-manusia yang akhirnya menemukan tambatan cintanya. Ada kisah-kisah biru, kala lelah akhirnya menemukan sepetak bahu untuk bersandar. Ada amarah-amarah yang pada akhirnya bertemu dengan damainya memaafkan. Pun tak sedikit ada kisah pilu, yang melahirkan air mata haru.
Dua minggu sebelum kehadiran Ramadhan, ada cerita-cerita tentang daun-daun yang berguguran. Ada jantung yang hanya diizinkanNya berdetak dibawah usia 30. Meninggalkan suami yang telah menemani dengan penuh cinta, juga buah hati yang takkan sempat dilihatnya bertumbuh. Ada tarikan nafas yang akhirnya terengah sebab tertimpa sebuah pohon. Juga ada usia yang diizinkanNya melangkah hanya hingga 1 Ramadhan.
Dan kepada engkau wahai diri, yang hingga hari ini masih diizinkanNya menghirup wangi Ramadhan, masihkah ingin menjalani bulan mulia ini dengan sia-sia? Padahal ia datang membawa janji Rabb mu yang Maha Pengampun, bahwa dosa-dosa akan berguguran karena ganjaran amal yang berlipat-lipat. Masihkah ingin menjalani bulan mulia ini dengan biasa-biasa saja? Padahal tak engkau sadari, hitam di hatimu semakin bertambah karena rasa sombong dan keengganan untuk bersyukur..
Ya, Ramadhan kali ini datang dengan cara yang berbeda. Kembali mengingatkan sabda Sang Manusia Mulia, bahwa manusia yang cerdas itu adalah manusia yang sering mengingat bahwa suatu saat, ia akan gugur layaknya dedaunan yang kembali ke pangkuan bumi. Jangan ingkari, karena ia adalah pasti. Bukankah daun yang gugur mengajarkanmu untuk mempersiapkan bekal dengan sebaik-baik kesungguhan. Bukankah daun yang gugur mengingatkanmu untuk cerdas mengambil hikmah dari tiap langkah. Dan bukankah daun yang gugur akan terus mengarahkanmu tuk kembali ke jalan-jalan kebaikan.
Bersama Ramadhan ini, jadilah manusia cerdas itu.
Bukankah sudah menjadi ketetapan semesta, bahwa tak selamanya dedaunan akan terus menemani reranting menyaksikan buah-buah menjadi ranum. Akan ada hari dimana ia jatuh bersama ranting yang menua, patah, lalu terbaring tak berdaya.
Saya percaya, Ramadhan datang dengan beragam cerita dan hikmah bagi mereka-mereka yang menyambutnya. Ada cerita bahagia, dari manusia-manusia yang akhirnya menemukan tambatan cintanya. Ada kisah-kisah biru, kala lelah akhirnya menemukan sepetak bahu untuk bersandar. Ada amarah-amarah yang pada akhirnya bertemu dengan damainya memaafkan. Pun tak sedikit ada kisah pilu, yang melahirkan air mata haru.
Dua minggu sebelum kehadiran Ramadhan, ada cerita-cerita tentang daun-daun yang berguguran. Ada jantung yang hanya diizinkanNya berdetak dibawah usia 30. Meninggalkan suami yang telah menemani dengan penuh cinta, juga buah hati yang takkan sempat dilihatnya bertumbuh. Ada tarikan nafas yang akhirnya terengah sebab tertimpa sebuah pohon. Juga ada usia yang diizinkanNya melangkah hanya hingga 1 Ramadhan.
Dan kepada engkau wahai diri, yang hingga hari ini masih diizinkanNya menghirup wangi Ramadhan, masihkah ingin menjalani bulan mulia ini dengan sia-sia? Padahal ia datang membawa janji Rabb mu yang Maha Pengampun, bahwa dosa-dosa akan berguguran karena ganjaran amal yang berlipat-lipat. Masihkah ingin menjalani bulan mulia ini dengan biasa-biasa saja? Padahal tak engkau sadari, hitam di hatimu semakin bertambah karena rasa sombong dan keengganan untuk bersyukur..
Ya, Ramadhan kali ini datang dengan cara yang berbeda. Kembali mengingatkan sabda Sang Manusia Mulia, bahwa manusia yang cerdas itu adalah manusia yang sering mengingat bahwa suatu saat, ia akan gugur layaknya dedaunan yang kembali ke pangkuan bumi. Jangan ingkari, karena ia adalah pasti. Bukankah daun yang gugur mengajarkanmu untuk mempersiapkan bekal dengan sebaik-baik kesungguhan. Bukankah daun yang gugur mengingatkanmu untuk cerdas mengambil hikmah dari tiap langkah. Dan bukankah daun yang gugur akan terus mengarahkanmu tuk kembali ke jalan-jalan kebaikan.
Bersama Ramadhan ini, jadilah manusia cerdas itu.
arya.poetra
Jakarta, 2 Ramadhan 1438H
sumber gambar |
Bismillah.
Tidakkah engkau sadari wahai diri, perhatikanlah. Setiap saat, engkau akan dihadapkan pada begitu banyak pertanyaan-pertanyaan. Yang akan selalu membawamu pada persimpangan-persimpangan. Baik atau benar. Kiri atau kanan. Halal atau haram. Bergerak atau diam. Surga atau neraka. Tak ada jalan di antara keduanya.
Setiap persinggahan adalah titik pengambilan keputusan, dan di sanalah Si Penghasut menunggumu. Menyapa dengan senyuman termanis dan kelembutan yang kan menggugahmu. Namun, sesungguhnya keduanya membungkus jalan kesesatan.
Ingatlah wahai diri, bahwa Si Penghasut akan selalu siaga setiap saat. Ia tak akan peduli apakah engkau muda atau tua, apakah engkau sedang mengetik tulisan di blog, saat sujudmu di masjid, ataukah saat engkau duduk membaca ayat-ayatNya. Bahkan, saat engkau terengah menunggu akhir sakratul mautmu..
Si Penghasut punya begitu banyak argumentasi untuk mengajakmu jatuh bersamanya. Lewat hati.. lewat cinta.. lewat akal.. lewat istri atau suamimu.. lewat anak-anakmu.. lewat ilmu mu.. lewat hafalan-hafalanmu.. lewat film-film yang engkau tonton.. lewat pendengaranmu.. atau lewat pemikiranmu.
Maka Islam mengajarkanmu untuk berdoa setiap saat. Bukankah engkau terus melantunkannya? Di lima waktu, kala engkau menghamba padaNya. "Tunjukilah kami jalan yang lurus"
WAHAI DIRI, JANGAN LENGAH!
arya.poetra
29 Sya'ban 1438H
Apa memang dalam sebuah perjalanan, harus selalu ada yang kita temukan? Tidak bisakah perjalanan hanya sekadar perjalanan?
Tanyamu suatu hari. Engkau sedang duduk di kereta saat itu, menuju Aachen. Duduk di dekat jendela, memandang penasaran pada yang akan engkau temukan di depan. Ada sesuatu yang engkau cari.
Mungkin rasa bosan yang mendorongmu untuk bepergian, meski sendirian. Berbekal sebuah tas yang berisi novel karangan J.D. Salinger, headset, buku dengan kertasnya yang warna warni, dan tentu saja polaroid yang tak pernah engkau lupakan ketika sedang bertualang.
Sepanjang perjalanan, pastilah ada banyak hal yang engkau temui. Memperkaya perbendaharaan rasa, lewat cerita-cerita yang disuguhkan oleh manusia-manusia yang lalu lalang. Ada pundak-pundak yang menyandarkan lelah, yang akan membuatmu tersenyum. Lalu keramahan ia yang tak engkau kenal semakin mendewasakan pemahamanmu. Semakin memperkaya cara pandangmu.
"Tidak bisakah perjalanan sekadar perjalanan?" tanyamu.
Jangan. Jangan seperti itu. Karena perjalanan yang baik adalah perjalanan yang membuatmu semakin paham akan alasan-alasan yang menggerakkanmu. Perjalanan yang semakin membuatmu yakin dengan tujuan yang engkau inginkan.
Bukankah pernah sama-sama sepakat, bahwa sejatinya tujuan perjalanan itu hanyalah satu. Bahwa perjalanan adalah langkah yang harus ditempuh agar lelah bisa bersandar pada tenang? Maka, baikkanlah, benarkanlah perjalananmu. Karena ia tidak sekadar untuk mengukir nama. Ia juga harus mampu merajut ukhuwah. Yang suatu hari kan menggenggam mu erat, menarikmu kembali, bersama-sama menuju puncak yang penuh dengan udara ketakwaan.
Perjalanan, janganlah hanya sekadar perjalanan. Jadikan ia sarana, untuk memeluk sejuk dan Wangi surgaNya.. Jadikan ia jembatan, untuk mendekap hangat cahayaNya..
Teruskanlah perjalananmu.
Ambillah cinta dari langit sebagai sebaik-baik bekal.
Terbarkanlah.
Semoga perjalananmu penuh hikmah.
arya.poetra
Jakarta, 26 Sya'ban 1438H
Bismillah.
Wahai diri, tidakkah engkau mendengar, derap langkah ramadhan yang perlahan mendekat. Wanginya, entah bagaimana, kian memekarkan rindu. Cinta yang mewujud doa-doa pun berlarian dengan riang nya, mulai menggenangi langit. Batas-batas terdalam rasa semakin basah karena jiwa-jiwa yang berserah..
Wahai diri, bagaimana kabar seremonial penyambutanmu? Masihkah ia seperti kemarin, seremonial yang hanya mengikut kebanyakan. Begitu meriah di awal, namun makin melemah kian menghampiri penghujungnya.
Wahai diri, bagaimana kabar proposal yang akan engkau serahkan padaNya di bulan suci ini? Masihkah hanya menyoal ibadah-ibadah seperti kemarin? Jumlah lembaran yang akan engkau lahap di tiap harinya.. Jumlah sujudmu di kala dhuha.. Ataukah memperbanyak bacaan, namun sama sekali tanpa perenungan.
Mengapa masih ingin menjadi yang biasa?
Akankah jumlah saja yang membuatmu semakin lebih baik?
Bagaimana kabar lembutnya hati dan lisanmu? Dalam menyampaikan ayat-ayatNya.. Ketika berbicara dengan ibu bapakmu.. Atau ketika ada khilaf yang perlu diluruskan..
Bagaimana kabar kesungguhan cinta yang engkau tunjukkan kepada ibumu? Sudahkah menyenangkan hati beliau di hari pertama ramadhanmu, dan juga hari-hari selanjutnya? Lalu, selepas ramadhan, adakah kesungguhan cinta itu masih tetap hangat?
Bagaimana kabar kepasrahan hatimu di kala engkau menundukkan kepala, menghamba di hadapanNya? Apakah sudah benar-benar jatuh ke dalam genangan keikhlasan? Ataukah masih ada rasa hendak dipuja? Lalu, sepeninggal ramadhan, apakah kepasrahan hanya sekadar hiasan?
Bagaimana kabar rasa gembira ketika ada ayat-ayatNya yang sampai kepadamu? Apakah ia adalah gembira yang benar-benar nyata? Ataukah ia hanyalah gembira yang mengada-ada?
Di ramadhan kali ini, Insya Allah, aku ingin menantangmu wahai diri. Untuk tak lagi menghamba pada jumlah semata. Aku ingin mengajakmu tuk menyelami tak hanya ibadah yang fisik. Ayo menargetkan perubahan yang lebih baik bagi apa-apa yang tak terlihat. Kesabaranmu.. Keikhlasanmu.. Penghambaanmu.. Kasih sayangmu.. Keteguhanmu..
Di ramadhan kali ini, mencintalah dengan menyelami rasa.
Tak sekadar jumlah.
Mengapa masih ingin menjadi yang biasa?
Akankah jumlah saja yang membuatmu semakin lebih baik?
Bagaimana kabar lembutnya hati dan lisanmu? Dalam menyampaikan ayat-ayatNya.. Ketika berbicara dengan ibu bapakmu.. Atau ketika ada khilaf yang perlu diluruskan..
Bagaimana kabar kesungguhan cinta yang engkau tunjukkan kepada ibumu? Sudahkah menyenangkan hati beliau di hari pertama ramadhanmu, dan juga hari-hari selanjutnya? Lalu, selepas ramadhan, adakah kesungguhan cinta itu masih tetap hangat?
Bagaimana kabar kepasrahan hatimu di kala engkau menundukkan kepala, menghamba di hadapanNya? Apakah sudah benar-benar jatuh ke dalam genangan keikhlasan? Ataukah masih ada rasa hendak dipuja? Lalu, sepeninggal ramadhan, apakah kepasrahan hanya sekadar hiasan?
Bagaimana kabar rasa gembira ketika ada ayat-ayatNya yang sampai kepadamu? Apakah ia adalah gembira yang benar-benar nyata? Ataukah ia hanyalah gembira yang mengada-ada?
Di ramadhan kali ini, Insya Allah, aku ingin menantangmu wahai diri. Untuk tak lagi menghamba pada jumlah semata. Aku ingin mengajakmu tuk menyelami tak hanya ibadah yang fisik. Ayo menargetkan perubahan yang lebih baik bagi apa-apa yang tak terlihat. Kesabaranmu.. Keikhlasanmu.. Penghambaanmu.. Kasih sayangmu.. Keteguhanmu..
Di ramadhan kali ini, mencintalah dengan menyelami rasa.
Tak sekadar jumlah.
arya.poetra
Jakarta, 24 Sya'ban 1438H
Bismillah
Bahagia bukanlah hadiah, yang lantas bersamanya, egomu kemudian meninggi. Bahagia bukanlah anugerah, jika ada yang perih karenanya.
Bukan, bukan aku melarangmu wahai diri, tuk berbagi. Tapi pikirku, ada hati yang perlu empati di luar sana. Ada rasa yang perlu engkau jaga, agar bagi yang lain, ia tak mengudara membawa luka..
Sebagian bahagia, biarkanlah rahasia.
Karena tak semua mendapatkan yang diinginkannya..
Karena tak semua ujian diselesaikan tepat waktu..
Karena tak semua pinta bertemu pengabulannya..
Karena tak semua cinta dipermudah jalannya..
Berbagilah hikmah, tak sekadar bahagia.
arya.poetra
Jakarta, 22 Sya'ban 1438H
Bismillah
Untuk lembaran-lembaran yang telah disediakan semesta, semoga Allah selalu memampukan tuk mengisinya dengan sebaik-sebaik cerita. Menakar setiap kisah, agar guratan-guratannya tidak menjelma sesuatu yang sia-sia. Berharap setiap cerita menjelma doa, yang kan merawat cinta hingga ke surgaNya kelak. Menjadi sebaik-baik pengingat, agar hijrah tak lagi menunggu, agar ia menjadi sebaik-baik yang meluruskan.
Ingatlah wahai diri. Kebaikan tak melulu menyoal kisah penuh canda dan tawa. Karena terkadang, kebaikan-kebaikan lahir dari rahim luka. Siapkanlah hatimu, untuk bijak dengan segala kemungkinan. Ketika kebaikan akhirnya hadir menyapa, jagalah ia. Agar menjadi sebaik-baik pemberat timbangan amal. Jaga agar angkuhmu tak menjadi nila yang menodai niatan.
Kumpulkanlah cerita, bukan benda semata.
Tebarkanlah doa-doa. Karena di kerajaan langitNya, ia tak pernah sia-sia.
arya.poetra
Jakarta, 20 Sya'ban 1438H
Amatilah.
Bukankah alam senantiasa menyajikan beragam puisi, setiap harinya. Yang bisa engkau genggam kala rasa sepi menyelinap. Gemerlap cahayanya perlahan membuatmu tersenyum, hingga tak lagi engkau merasa sendiri. Keteguhannya, membuatmu semakin memantapkan langkah, sebab ada mimpi-mimpi yang patut untuk diperjuangkan. Aroma nya, kembali merajut asa yang hendak lepas dari simpul-simpulnya. Hangatnya membelaimu lembut, lantas berbisik, bahwa bukan saatnya untuk menyerah. Bergeraklah. Jangan diam.
Sadarilah.
Tak selalu indah rupa puisinya.
Terkadang gemuruhnya terasa begitu menakutkan. Mungkin salah satu cara untuk mengingatkan. Bahwa jatuh adalah bentuk lain dari kasih sayang. Bahwa waktu adalah nikmat yang berbatas.
Terkadang panasnya terasa begitu menyengat. Mungkin salah satu cara, agar niatan kembali tumbuh dan bersandar pada Sang Maha. Agar tawa tak lagi melenakan. Agar canda tak lagi menyakiti.
Atas izinNya, ketakutan mampu menjadi puisi bagi jiwa-jiwa sombong lagi tak bersyukur.. Dzikir kembali riuh karenanya. Menebal, menjelma tameng, melindungi ruh-ruh yang kembali terselimuti oleh istighfar padaNya.
Alam ini tersaji untukmu.
Kumpulan-kumpulan nikmat dariNya, tergantung caramu memandang.
Bukankah alam senantiasa menyajikan beragam puisi, setiap harinya. Yang bisa engkau genggam kala rasa sepi menyelinap. Gemerlap cahayanya perlahan membuatmu tersenyum, hingga tak lagi engkau merasa sendiri. Keteguhannya, membuatmu semakin memantapkan langkah, sebab ada mimpi-mimpi yang patut untuk diperjuangkan. Aroma nya, kembali merajut asa yang hendak lepas dari simpul-simpulnya. Hangatnya membelaimu lembut, lantas berbisik, bahwa bukan saatnya untuk menyerah. Bergeraklah. Jangan diam.
Sadarilah.
Tak selalu indah rupa puisinya.
Terkadang gemuruhnya terasa begitu menakutkan. Mungkin salah satu cara untuk mengingatkan. Bahwa jatuh adalah bentuk lain dari kasih sayang. Bahwa waktu adalah nikmat yang berbatas.
Terkadang panasnya terasa begitu menyengat. Mungkin salah satu cara, agar niatan kembali tumbuh dan bersandar pada Sang Maha. Agar tawa tak lagi melenakan. Agar canda tak lagi menyakiti.
Atas izinNya, ketakutan mampu menjadi puisi bagi jiwa-jiwa sombong lagi tak bersyukur.. Dzikir kembali riuh karenanya. Menebal, menjelma tameng, melindungi ruh-ruh yang kembali terselimuti oleh istighfar padaNya.
Alam ini tersaji untukmu.
Kumpulan-kumpulan nikmat dariNya, tergantung caramu memandang.
Jakarta, 16 Sya'ban 1438H
Bismillah
Engkau adalah kebutuhan hati, yang tak bisa ditunda. Mengawali hari denganmu, sungguh akan terlihat bagaimana indah jejakku hari ini. Melantunkanmu, menjadikan frekuensi-frekuensi yang sering dibuat kacau oleh dunia kembali tenang. Dekat denganmu, sungguh akan meruntuhkan prasangka-prasangka yang melemahkan.
Kami berharap, bisa duduk dan mendengarkan kisah-kisahmu, setiap harinya. Berharap, langitNya kan berhias nama-nama kami, yang disebutNya di antara para penduduk langit, karena telah membanggakanmu. Kami berharap, engkau bisa terus hadir, dalam sedih ataupun bahagia kami.. Dalam sempit maupun lapang kami..
Sungguh, berada di dekatmu adalah sebuah nikmat tersendiri. Di saat banyak yang enggan untuk membacamu dengan lantang. Di saat banyak yang malu untuk membuka lembaran-lembaranmu di depan orang banyak. Di saat banyak yang menganggapmu usang, karena usiamu..
Kami, adalah para pejuang yang melawan arus kebanyakan. Yang terus berusaha berjuang memahami pesan-pesan yang disampaikanNya lewat lembaran-lembaranmu. Lewat setiap kata dan kalimat yang menghiasimu. Lewat setiap tafsir mereka-mereka yang telah mendapatkan janji-janji Rabb nya.
Dengan sebesar-besar pengharapan.
Dengan seluas-luas kesungguhan,
akan rahmat dan ampunan Rabb Semesta Alam.
Jakarta, 13 Sya'ban 1438H
Hidup.
Di suatu rentang waktu, ia terkadang berlari. Membawa saya melesat begitu cepat. Waktu rasanya seperti kumpulan-kumpulan kebahagiaan yang berkonspirasi tuk membuat saya senang dan tertawa. Namun, terkadang ia juga membuat langkah bergerak perlahan. Atau bahkan berhenti, sama sekali tak bergerak. Hujan yang dibawanya mengharuskan saya untuk berteduh..
Di hari yang lain, hujan mengharuskan saya untuk kembali berteduh. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini waktunya terasa lebih lama. Rasanya begitu menyesakkan. Karena jauh di depan sana, ada hal-hal yang ingin saya kerjakan. Ada mimpi-mimpi yang ingin saya wujudkan. Tapi lihatlah. Saya masih berdiri di sini. Berteduh dari hujan, yang pikirku sengaja bekerja sama dengan langit tuk melihatku muram.
Pernah hujan turun begitu lama. Ia datang bersama angin. Terkadang datang bersama gelegar yang membuat gigil makin menjadi. Maka datanglah mereka, pertanyaan-pertanyaan yang membonceng keluhan. Juga pertanyaan-pertanyaan yang membawa aroma keputusasaan. Berkali-kali.
Lalu, kejenuhan datang.
Karena pertanyaan-pertanyaan tak kunjung menemukan jawaban.
Karena pertanyaan-pertanyaan tak kunjung menemukan jawaban.
Lantas akal dan rasa memilih untuk menyerah.
Hingga tiba saat, titik balik menjadi awal perbaikan-perbaikan. Kesadaran akan kepulangan menjadikan rahim rindu melahirkan doa-doa. Keinginan tuk mengubah, membuat malam menjadi saksi akan harapan-harapan yang berlarian menembus langit. Akhirnya saya pun disadarkanNya. Apa sebab saya terus bergerak perlahan, atau bahkan seringkali berhenti. Karena saya lupa untuk menyiapkan payungnya. Ya, saya lupa. Saya tidak mempersiapkannya.
Saya tahu suatu saat hujan akan datang menghampiri.. Mengapa saya tak mempersiapkan payung ketika hujan kian mendekat? Bukankah akan lebih menenangkan ketika payung itu saya persiapkan sedari awal? Agar ketika ia hadir, langkah-langkah masih bisa tetap menjejak. Atau, mengajak ia yang berjalan searah untuk sama-sama berteduh?
Hidup.
Akan ada episode dimana persoalan datang berulang-ulang. Suatu hari, ia datang dengan porsi yang sama. Di lain hari, ia hadir dengan wujud yang berbeda, namun dengan nama yang sama. Pun kualitasnya akan meningkat seiring waktu. Mungkin di hari itu, akan ada banyak pertanyaan yang hadir. Mengapa saya? Mengapa seperti ini? Mengapa selalu saya? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang akan menguap mewarnai langitNya.
Padahal Allah menguji dengan maksud agar menjadi lebih kuat. Agar menjadi lebih sabar. Agar menjadi lebih bijak. Agar lebih percaya. Bukankah dengan ujian, IA menghendaki sang hamba sesuatu yang lebih dari sebelumnya?
Allah akan terus menurunkan hujan sebagai bukti rahmatNya. Percayalah. Hujan turun bukan di satu tempat saja. Ia hadir juga di belahan bumi yang lainnya. Ia tidak membawa sejuk pada satu orang saja, melainkan juga untuk bermilyar-milyar manusia yang lain. Lalu, mengapa tidak mempersiapkan payung-payung ilmu mu? Agar ketika hujan persoalan datang, diri bisa berteduh dari keluhan-keluhan. Agar diri tidak basah kuyup oleh ketidaksyukuran.
Jika hujan masih sering hadir,
Bersyukurlah. Karena sungguh ia hadir membawa kesejukan..
Jika hujan masih terlihat membebani,
Bagaimana kabar rasa percayamu?
Masihkah Allah menjadi tujuanmu?
Saya tahu suatu saat hujan akan datang menghampiri.. Mengapa saya tak mempersiapkan payung ketika hujan kian mendekat? Bukankah akan lebih menenangkan ketika payung itu saya persiapkan sedari awal? Agar ketika ia hadir, langkah-langkah masih bisa tetap menjejak. Atau, mengajak ia yang berjalan searah untuk sama-sama berteduh?
Hidup.
Akan ada episode dimana persoalan datang berulang-ulang. Suatu hari, ia datang dengan porsi yang sama. Di lain hari, ia hadir dengan wujud yang berbeda, namun dengan nama yang sama. Pun kualitasnya akan meningkat seiring waktu. Mungkin di hari itu, akan ada banyak pertanyaan yang hadir. Mengapa saya? Mengapa seperti ini? Mengapa selalu saya? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang akan menguap mewarnai langitNya.
Padahal Allah menguji dengan maksud agar menjadi lebih kuat. Agar menjadi lebih sabar. Agar menjadi lebih bijak. Agar lebih percaya. Bukankah dengan ujian, IA menghendaki sang hamba sesuatu yang lebih dari sebelumnya?
Allah akan terus menurunkan hujan sebagai bukti rahmatNya. Percayalah. Hujan turun bukan di satu tempat saja. Ia hadir juga di belahan bumi yang lainnya. Ia tidak membawa sejuk pada satu orang saja, melainkan juga untuk bermilyar-milyar manusia yang lain. Lalu, mengapa tidak mempersiapkan payung-payung ilmu mu? Agar ketika hujan persoalan datang, diri bisa berteduh dari keluhan-keluhan. Agar diri tidak basah kuyup oleh ketidaksyukuran.
Jika hujan masih sering hadir,
Bersyukurlah. Karena sungguh ia hadir membawa kesejukan..
Jika hujan masih terlihat membebani,
Bagaimana kabar rasa percayamu?
Masihkah Allah menjadi tujuanmu?
Jakarta, 11 Sya'ban 1438H
Adalah nikmat tersendiri kala pintu-pintu jawaban akhirnya terbuka menyambut tanya. Hidayah yang selama ini dikejar akhirnya mendekat dan mengulurkan jemarinya. Perlahan, ada beban yang menguap.. Ada manis hikmah yang akhirnya dicicipi.. Ada hati yang menjadi lebih terwarnai..
Bukankah memang hidayah bekerja dengan cara seperti itu? Selalu mendekat pada mereka yang mengejarnya.. Selalu memandang hangat pada mereka yang merindu kebenaran..
Dan untuk kemurahan Rabb yang menjadikanmu mengetahui suatu perkara, sangatlah pantas engkau bersyukur atasnya. Menundukkan kepala tuk mengusir rasa sombong, seraya menengadahkan tangan tuk menumbuh suburkan harapan-harapan. Karena kehendakNya lah jiwa ini mampu membedakan antara yang benar dan salah, di tengah badai kesamaran yang sedang menerjang. Karena campur tanganNya lah, iman yang masih duduk manis di hati masihlah tetap di jalur lurus yang disenangiNya. Dan karena semua kemurahanNya lah, air mata masih bisa mengalir tuk membasuh khilaf yang selama ini merayap sembunyi-sembunyi tuk mencairkan keikhlasan.
Namun ingatlah. Mengetahui itu membawa sebuah tanggung jawab bersamanya.
Mengetahui tak lantas membuat diri untuk duduk diam dan menikmati sendirian. Ada tugas-tugas yang harus diselesaikan.. Ada kebaikan-kebaikan yang harus dibagi.. Juga ada kata-kata yang harus disebarkan tuk menjelajah tiap sudut hati. Sembari berharap semua keresahan tergantikan dengan kabar-kabar bahagia dari Rabb Yang Maha Memiliki segalanya.
Mengetahui juga tak membuat diri berhak untuk bersuara lantang, jika dengannya ada hati yang kan tersakiti. Atau ada wajah-wajah yang kan tertunduk malu karenanya. Bukankah diri ingin menjadi bagian dari cara Rabb yang menginginkan kebaikan dan kebahagiaan bagi hamba-hambaNya? Bukankah perjalanan dakwah tak boleh kehilangan warnanya?
Mengetahui adalah sebuah nikmat, sekaligus pintu yang kan menghadapkan pada ujian-ujian dari Nya. Maka, bijaklah dengan apa yang diketahui. Menangkanlah ayat-ayatNya, di atas segalanya.
Jakarta, 7 Sya'ban 1438H